Sesampainya di Kantor MWCNU, saya bertemu dengan Kiyai Rosyidi. Bersama beliau, kami mengambil dokumentasi pekerjaan Nol Persen dari empat sisi gedung yang sedang dibangun. Setiap sudut yang kami abadikan seakan menjadi saksi bisu dari niat tulus kami, memajukan dan menghidupkan kegiatan keagamaan di kecamatan tercinta ini. Selesai dengan tugas kami, saya dan Kiyai Rosyidi bersiap untuk memenuhi undangan silaturahim PBNU di Hotel Estern, Bojonegoro.
Waktu masih menunjukkan pukul sebelas saat kami memutuskan untuk mampir sejenak ke Kantor PCNU Bojonegoro. Di sana, saya disambut hangat oleh sahabat-sahabat seperjuangan—Gus Rohim, Gus Alek, Pak Mazro’i, dan beberapa tokoh lainnya. Percakapan pun mengalir tanpa terasa, menyelami berbagai topik mulai dari perjuangan hingga harapan untuk umat. Di tengah percakapan itu, kami sepakat untuk berangkat bersama ke tempat acara, menaiki satu mobil milik Gus Rohim, sementara mobil Kiyai Rosyidi kami tinggalkan di Kantor PCNU.
Ketika akhirnya kami tiba di Hotel Estern, saya disambut oleh suasana yang begitu hangat. Di sana, saya bertemu dengan banyak tokoh dan teman seperjuangan yang sudah lama tak bersua. Seakan waktu tak pernah memisahkan kami, senyum dan tawa menyambut pertemuan ini, namun tetap dalam nuansa keagungan silaturahim.
Menjelang siang, kami pun menunaikan salat Dzuhur di salah satu ruangan hotel. Sejenak keheningan menyelimuti, membawa hati ini berserah dalam doa dan syukur. Beberapa saat setelahnya, acara pun dimulai, ditandai dengan kehadiran Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, dan Gus Ipul, Sekretaris Eksekutif PBNU, yang diiringi oleh Ketua PCNU Bojonegoro, Gus Ubed, serta beberapa tokoh lainnya.
Hari itu, setiap momen terasa penuh makna, setiap langkah menjadi bagian dari pengabdian yang tulus. Dalam perjalanan ini, saya kembali diingatkan bahwa khidmah bukan sekadar tugas, tapi panggilan jiwa, jalan panjang yang penuh cahaya, menyusuri lorong-lorong kehidupan dengan keyakinan bahwa setiap detik yang kita lalui adalah bagian dari perjuangan menuju ridha-Nya.
Saat acara dimulai, suasana di ruangan menjadi khidmat. Para hadirin menanti dengan penuh antusias, menanti wejangan yang akan disampaikan oleh para pemimpin tertinggi NU. Ketika Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, menyampaikan pidato wejangannya, aura keagungan dan kebijaksanaan menyelimuti setiap sudut ruangan. Suaranya yang tenang namun penuh wibawa memulai pidato yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga mengingatkan kami semua akan tanggung jawab besar yang kami emban.
Dalam pidatonya, Gus Yahya menekankan pentingnya koherensi (Tamasuk) di dalam tubuh organisasi. Beliau berpesan kepada seluruh pengurus NU Bojonegoro untuk tidak hanya sekadar menjalankan program-program yang telah dicanangkan oleh PBNU, tetapi juga memastikan bahwa setiap langkah yang diambil selaras dengan visi besar yang telah digariskan. Koherensi ini, menurut beliau, adalah kunci untuk mencapai keberhasilan yang berkelanjutan dalam setiap program yang digulirkan.
Gus Yahya menyampaikan bahwa koherensi bukanlah hal yang mudah dicapai. Ini membutuhkan kerja sama yang erat, komunikasi yang baik, dan pemahaman mendalam tentang tujuan jangka panjang organisasi. Beliau mengingatkan bahwa setiap program yang telah dicanangkan oleh PBNU memiliki tujuan yang mulia, yaitu membawa manfaat sebesar-besarnya bagi umat. Oleh karena itu, perlu ada kesinambungan antara pusat dan daerah, antara gagasan besar dan implementasi di lapangan.
Pesan ini menggema di hati setiap hadirin, termasuk saya. Dalam hati, saya merenung, memahami betapa pentingnya memastikan bahwa setiap program yang kami jalankan di Bojonegoro benar-benar sejalan dengan arah yang telah ditetapkan. Koherensi ini adalah tali yang mengikat kita semua, dari pusat hingga ranting, dalam satu kesatuan gerak yang harmonis.
Setelah pidato Gus Yahya selesai, tepuk tangan riuh memenuhi ruangan, menandakan bahwa pesan beliau telah sampai ke dalam hati para hadirin. Di tengah tepuk tangan itu, saya merasa ada semangat baru yang tumbuh, sebuah tekad untuk memastikan bahwa khidmah yang kami jalankan di Bojonegoro akan selalu sejalan dengan visi besar PBNU. Gus Yahya telah mengingatkan kami bahwa dalam perjalanan khidmah ini, koherensi adalah landasan yang akan mengantar kami pada kesuksesan sejati, sebuah kesuksesan yang tidak hanya bermanfaat bagi organisasi, tetapi juga membawa berkah bagi umat.
Setelah acara di Hotel Estern usai, saya dan Kiyai Rosyidi memutuskan untuk kembali ke Kantor PCNU Bojonegoro. Di sana, suasana masih terasa hangat, meski acara telah berakhir. Ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam kantor, saya bertemu dengan Rekan Sholeh, Ketua PAC IPNU Margomulyo. Dengan wajah penuh semangat, ia mengutarakan keinginannya untuk mendaftar menjadi pegawai di BMTNU.
Saya pun mengajak Rekan Sholeh menuju ruang Bendahara BMTNU, Pak Rosyid, untuk mengurus keperluannya. Di ruang itu, kami disambut oleh Pak Rosyid dengan ramah. Obrolan hangat pun mengalir, dimulai dari diskusi ringan hingga membahas berbagai aspek penting yang berkaitan dengan BMTNU. Pak Rosyid berbicara dengan penuh kebijaksanaan tentang peran BMTNU dalam mendukung perekonomian umat, serta pentingnya kepercayaan dan amanah dalam mengelola keuangan syariah.
Rekan Sholeh menyimak dengan saksama, menyerap setiap nasihat dan informasi yang disampaikan oleh Pak Rosyid. Saya bisa melihat tekad yang kuat dalam matanya—tekad untuk berkontribusi dan membawa manfaat melalui BMTNU. Ketika pembicaraan kami mencapai puncaknya, Rekan Sholeh dengan penuh keyakinan menyerahkan berkas pendaftarannya kepada Pak Rosyid. Momen itu terasa istimewa, seolah menjadi awal dari sebuah perjalanan baru bagi Rekan Sholeh dalam berkhidmah melalui BMTNU.
Setelah urusan di BMTNU selesai, saya dan Kiyai Rosyidi memutuskan untuk pulang ke Margomulyo. Perjalanan pulang kali ini terasa berbeda—penuh dengan refleksi atas segala hal yang telah terjadi sepanjang hari. Dari pagi hingga sore, setiap langkah yang saya ambil seakan menjadi bagian dari perjalanan panjang dalam pengabdian. Pertemuan dengan para tokoh, pesan-pesan yang disampaikan, hingga mendampingi Rekan Sholeh, semuanya menyatukan diri dalam harmoni khidmah yang begitu indah.
Hari itu, saya kembali diingatkan bahwa khidmah bukan hanya tentang apa yang kita lakukan, tetapi juga tentang bagaimana kita mendampingi dan mendorong orang lain untuk turut serta dalam pengabdian. Dalam perjalanan pulang, saya merasa tenang, penuh dengan syukur atas segala nikmat dan kesempatan yang diberikan oleh-Nya untuk terus berkhidmah, bersama-sama menuju ridha-Nya.
Sesampainya di Kantor MWCNU Margomulyo, meskipun lelah mulai terasa setelah seharian penuh beraktivitas, saya memilih untuk tidak langsung pulang ke rumah. Hari itu, ada momen istimewa yang menunggu—waktu berbuka puasa. Di tengah kesibukan yang tiada henti, berhenti sejenak untuk menikmati berbuka terasa begitu menenangkan.
Saya duduk bersama Mas Sholeh dan Mas Rahmat, menikmati hidangan sederhana namun penuh makna. Di bawah langit senja yang mulai gelap, kami saling berbincang sambil menanti datangnya waktu sholat Maghrib. Suara adzan yang mengalun lembut seakan menjadi tanda bagi kami untuk sejenak beristirahat dari hiruk-pikuk dunia, mengarahkan hati dan pikiran hanya kepada-Nya. Setelah menunaikan sholat Maghrib berjamaah, kami kembali duduk bersama, bercengkerama ringan sembari menunggu datangnya waktu sholat Isya.
Waktu Isya pun tiba, dan kami melaksanakan sholat berjamaah dengan khusyuk. Di setiap rakaatnya, saya merasakan kedamaian yang meresap, seolah segala penat yang saya rasakan perlahan luruh dalam sujud yang panjang. Usai sholat, suasana terasa begitu tenang, namun tugas khidmah saya belum usai. Malam itu, saya masih harus mengisi Kajian Rutin Malem Kamis Kliwon di Majelis Taklim Mata Air Pluntu, Desa Sumberjo.
Dengan penuh semangat dan rasa syukur, saya bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Kajian rutin ini bukan hanya sekadar pengajaran, tetapi juga menjadi bagian penting dalam menjaga dan memperkuat tali silaturahim serta keimanan di antara para jamaah. Setiap kata yang akan saya sampaikan nanti, saya harap mampu memberikan pencerahan dan motivasi, baik bagi diri saya sendiri maupun bagi mereka yang hadir.
Dalam perjalanan menuju Majelis Taklim, hati saya terasa tenang. Meskipun lelah, ada kekuatan tersendiri yang saya rasakan setiap kali melangkah menuju tempat di mana saya bisa berkhidmah. Perjalanan ini, yang dimulai sejak pagi hingga malam, adalah bukti bahwa khidmah adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh berkah. Dan di setiap langkahnya, ada rasa syukur yang tak terhingga kepada-Nya, yang telah memberi saya kesempatan untuk terus melayani umat-Nya.
Saat malam semakin larut dan perjalanan khidmah hari ini hampir usai, saya merenung dalam heningnya malam. Setiap langkah yang saya ambil, setiap kata yang saya sampaikan, semuanya terasa seperti untaian doa yang mengalir tiada henti, menyatu dalam keikhlasan dan pengabdian. Di balik lelah dan penat, ada kebahagiaan yang tak ternilai—kebahagiaan dalam melayani, dalam memberikan yang terbaik untuk umat, dan dalam merajut tali ukhuwah yang tak pernah putus.
Seperti senja yang selalu kembali bertemu dengan malam, saya menemukan kedamaian dalam siklus khidmah ini. Tugas-tugas yang saya jalani hari ini adalah bukti cinta yang tulus kepada-Nya dan kepada sesama. Di setiap akhir perjalanan, saya sadar bahwa khidmah bukan sekadar tugas, melainkan sebuah cinta yang abadi, yang selalu mengisi relung hati dengan cahaya harapan dan keyakinan.
Dengan penuh syukur, saya tutup hari ini dengan satu keyakinan: bahwa setiap langkah yang diiringi niat tulus dan ikhlas, akan selalu membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Dan di sanalah, dalam keheningan malam dan doa yang terlantun, saya menemukan makna sejati dari perjalanan khidmah ini—sebuah perjalanan cinta yang tak pernah berakhir.
#Catatan Perjalanan Khidmah Seorang Kader