Kamis, 15 Agustus 2024

"Jejak Langkah Menuju Terwujudnya Impian: Kisah Perjuangan Pembangunan Auditorium MWCNU Margomulyo Part II"

Setelah beberapa hari berlalu, tepatnya pada tanggal 21 Juli 2024, kabar yang dinanti akhirnya tiba—meskipun tidak sepenuhnya sesuai harapan. Pesan itu datang dari Mas Nasir, salah seorang Koordinator Lapangan yang selalu setia mendampingi perjalanan kami. Melalui pesan WhatsApp, beliau menyampaikan kabar bahwa proposal pengajuan kami membutuhkan beberapa revisi yang harus segera ditindaklanjuti dan dibenahi.


Dalam pesan tersebut, tertera beberapa hal yang perlu kami lengkapi dan perbaiki. Di antaranya, kami harus melengkapi salinan legalitas tanah atau wakaf serta dokumen domisili asli yang harus ditandatangani dengan stempel basah. Selain itu, ada kekurangan lain, yaitu Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang masih dalam proses koreksi oleh tenaga ahli, dan revisi nama pada rekening Bank Jatim yang harus diubah menjadi "MWC NU MARGOMULYO," dengan menghapus kata "BOJONEGORO."


Di antara semua revisi yang harus dilakukan, ada satu hal yang membuat hatiku merasa sedikit tergelitik—revisi nama rekening. Awalnya, saya membuat nama rekening atas nama "MWCNU MARGOMULYO BOJONEGORO" dengan keyakinan bahwa nomor rekeninglah yang menjadi fokus utama dalam setiap transaksi, bukan alamat atau nama yang tertera. Namun, aturan administrasi ternyata memiliki sakralitas tersendiri, di mana setiap data harus benar-benar sesuai dan saling berkaitan dengan dokumen-dokumen lainnya. Meski sedikit terbahak-bahak dalam hati, saya menyadari bahwa proses ini adalah bagian dari tanggung jawab yang harus dijalani.


Setelah mencoba berkomunikasi dengan pihak bank namun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, tanggal 22 Juli 2024 saya memutuskan untuk langsung datang ke Bank Jatim Cabang Ngawi untuk mendapatkan penjelasan terkait persyaratan perubahan nama rekening. Dengan niat yang bulat, saya menuju bank dan meminta penjelasan mengenai prosedur penghapusan satu kata dalam nama rekening tersebut.


Usai mendapatkan penjelasan, saya langsung kembali ke kantor MWCNU Margomulyo dengan semangat yang baru. Saya segera melengkapi semua persyaratan yang dibutuhkan dan, tepat pukul 13.50, saya dan Pak Sigit kembali meluncur ke Bank Jatim Cabang Ngawi. Perjalanan kami penuh dengan harapan, tetapi ketika kami tiba di depan pintu masuk bank tepat pada pukul 14.15, kami disambut oleh senyum manis Pak Satpam yang, dengan nada lembut, mengatakan, "Maaf bapak, pelayanan bank sudah tutup."


Mendengar itu, spontan kami berdua—saya dan Pak Sigit—tertawa dalam mobil, sambil memutar setir untuk kembali pulang. Momen itu mengajarkan kami bahwa dalam setiap perjuangan, tidak semua berjalan sesuai rencana, namun setiap langkah—baik yang berhasil maupun yang harus ditunda—adalah bagian dari proses panjang yang akan membawa kami lebih dekat kepada tujuan akhir.



Hari berikutnya, Selasa, 23 Juli 2024, kami kembali menuju Bank Jatim Cabang Ngawi. Sekitar pukul 09.00, kami tiba di sana, disambut dengan senyum ramah oleh Pak Satpam yang sudah mengenali kami dari kunjungan sebelumnya. Dengan penuh keramahan, beliau langsung mengantar kami ke bagian pelayanan. Ada perasaan lega yang mengalir di hati saat kami duduk menunggu proses pembuatan rekening baru dengan nama yang telah disesuaikan, "MWCNU MARGOMULYO."


Prosesnya berjalan lancar, hanya memakan waktu sekitar 10 menit. Saat rekening baru itu diserahkan kepada kami, ada rasa syukur yang tak terhingga. Rekening tersebut bukan sekadar sebuah akun bank, melainkan simbol dari perjuangan panjang kami, sebuah pintu yang siap menjemput takdir keberkahan untuk perjuangan NU Margomulyo. Dalam hati, kami berharap bahwa setiap rupiah yang nantinya mengalir melalui rekening ini akan membawa berkah dan manfaat bagi umat.


Setelah urusan di bank selesai, kami pun pulang. Perjalanan pulang itu terasa ringan, seolah beban yang selama ini menghimpit perlahan mulai terangkat. Sesampainya di KUA Margomulyo, kami berpisah dengan Pak Sigit. Karena masih jam kerja, saya memutuskan untuk tetap di kantor sebentar, menjalankan tugas-tugas rutin sambil menunggu waktu yang tepat untuk langkah berikutnya.


Pukul 14.00, saya meminta izin kepada Pak Naib untuk pergi ke biro jasa pengiriman paket dokumen. Dengan hati-hati, saya mempersiapkan semua berkas yang telah dilengkapi, memastikan tidak ada yang terlewat. Dokumen-dokumen tersebut saya kirimkan kepada Mas Wykan, petugas dari Biro Kesra Jatim, yang telah menjadi mitra kami dalam proses ini.


Setelah semua dokumen terkirim, ada harapan yang tumbuh di dalam hati. Semoga semua proses ini sudah beres, dan kami tinggal menunggu tahap pencairan yang akan menjadi titik awal dari realisasi mimpi besar kami. Perjalanan ini memang penuh dengan liku, namun setiap langkah yang kami ambil adalah bukti dari tekad dan dedikasi kami untuk mewujudkan sesuatu yang lebih besar dari diri kami sendiri, sesuatu yang akan memberikan manfaat bagi banyak orang. Kami percaya bahwa dengan sabar dan usaha yang terus-menerus, keberkahan itu akan datang pada saatnya.

Setelah mengirimkan semua berkas yang diperlukan, keesokan harinya, kabar baik pun datang. saya menerima informasi bahwa Tepatnya hari Kamis,Pada tanggal 25 Juli 2024  kami harus menghadiri penandatanganan kontrak NPHD (Nota Penerimaan Hibah Daerah) di Islamic Center Surabaya. Undangan ini adalah momentum penting, menandai bahwa perjalanan panjang kami telah memasuki babak baru.


Kami memutuskan untuk berangkat dini hari, tepatnya pukul 01.00, dari Margomulyo. Dalam satu mobil, kami berempat: saya, Pak Sigit, Pak Miran, dan Bu Maslahah. Pak Miran dan Bu Maslahah turut serta dalam perjalanan ini karena mereka juga memiliki acara yang sama, yakni penandatanganan NPHD untuk Lembaga RA mereka. Perjalanan itu terasa seperti sebuah misi penting, dan suasana hati kami penuh dengan harapan, meski udara malam terasa dingin menusuk.


Kami berhenti sejenak di sebuah SPBU di Kota Gresik untuk melaksanakan sholat Subuh. Di sana, kami merasakan keheningan pagi yang menenangkan, seolah memberikan kami kekuatan tambahan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, tak disangka, perjalanan ini ternyata dipenuhi dengan berbagai drama kecil yang membuatnya semakin berkesan.


Drama pertama terjadi ketika kami tiba di pintu tol. Saat itu, Pak Sigit hendak menggesek kartu E-Tol, tetapi ternyata saldo di dalamnya sudah habis. Dalam keheningan malam, kami semua terdiam, mencoba mencari solusi. Tak ada tempat untuk mengisi ulang, dan waktu yang masih dini hari membuat situasi semakin sulit. Namun, di tengah kebingungan itu, Allah seakan mengirimkan malaikat-Nya dalam wujud seorang sopir truk. Pak Sigit, yang sedang mencari bantuan, bertemu dengan sopir itu—seorang yang tampak kelelahan dan baru saja kehilangan ponselnya saat tertidur. Dengan kebaikan hatinya, sopir tersebut membantu kami membuka pintu tol dengan kartu E-Tol miliknya. Alhamdulillah, satu rintangan telah kami lewati, dan perjalanan pun bisa dilanjutkan.


Namun, Surabaya masih menyimpan kejutan lain bagi kami. Saat mendekati Gedung Islamic Center, drama berikutnya dimulai. Google Maps, yang seharusnya menjadi penunjuk jalan kami, justru membawa kami berputar-putar di tengah hiruk pikuk pagi kota Surabaya. Kami mengikuti komandonya, tetapi entah kenapa, jalur yang diberikan seakan ingin menguji kesabaran kami. Setelah berputar beberapa kali, kami akhirnya berhenti di depan sebuah Alfamart, yang ternyata menyediakan layanan isi ulang E-Tol.


Di saat itulah, Pak Sigit dan saya saling berpandangan, dan kami bergumam dalam hati, mungkin ini adalah cara Sang Sutradara—Tuhan—untuk mengingatkan kami agar lebih bijak dalam mempersiapkan segala sesuatu, termasuk mengisi ulang token E-Tol. Saat kesadaran itu muncul, spontan kami berempat tertawa terbahak-bahak, menikmati betapa lucunya keadaan yang kami alami. Apa yang seharusnya menjadi sumber kekhawatiran justru menjadi momen kebersamaan yang hangat, menghilangkan kepenatan perjalanan.


Akhirnya, setelah segala lika-liku yang kami alami, kami tiba di Gedung Islamic Center Surabaya tepat pukul 06.00. Meski perjalanan ini dipenuhi dengan kejutan-kejutan tak terduga, semua itu terasa seperti bagian dari sebuah skenario besar yang telah diatur dengan sempurna. Kami datang dengan hati yang tenang, siap untuk menandatangani kontrak yang akan menjadi langkah awal dari terwujudnya mimpi besar kami di Margomulyo.




Kembali Ke Part I                                                                                                                  Lanjut Part III