Jumat, 16 Agustus 2024

"Jejak Langkah di Tanah Berkah: Menelusuri Jejak Sejarah dan Menyambut Amanah di Konferwil NU Jatim"

Pengurus MWCNU Kawasan barat Bojonegoro (NGRAJOMULYO)

Pagi itu, udara masih begitu sunyi ketika kabar menyentuh jiwa kami. Pada tanggal 2 Agustus, sebuah undangan tiba di genggaman. PCNU Bojonegoro memanggil, mengajak dua insan dalam barisan, dua jiwa dalam satu ikatan. Saya, sebagai Ketua, dan Kiai Rosyidi, Ro'is yang selalu penuh hikmah, ditakdirkan untuk melangkah bersama. Kami diundang bukan hanya untuk sekadar hadir, tetapi untuk mengukir sejarah dalam acara Ziyaaroh Mu'asis NU, menyusuri jejak para pendiri, serta turut berhurmat dalam Muskerwil PWNU Jatim di pesantren yang penuh berkah, Tebu Ireng Jombang pada hari sabtu, 03 Agustus 2024.


Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi sebuah ziarah batin. Acara dimulai pada pukul 08.00 pagi, dengan titik kumpul di Kantor PCNU Bojonegoro. Namun, bagi saya, yang tinggal di kampung yang jauh dari kota, perjalanan ini memerlukan persiapan yang lebih awal. Setiap kali ada acara pagi di Bojonegoro, saya harus bangun lebih pagi dari biasanya, memulai langkah saat malam masih menyelimuti bumi.


Pagi itu, waktu menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Dalam keheningan yang penuh doa, saya melangkahkan kaki keluar rumah. Langit masih gelap, namun semangat dalam dada sudah menyala terang. Saya harus bertemu dengan Kiai Rosyidi di Masjid Ngraho setelah subuh, sekitar pukul 04.30. Suara adzan subuh di langit desa menjadi penanda pertemuan kami, sebuah simbol kebersamaan yang suci.


Setelah sholat subuh, kami bersiap. Jam menunjukkan pukul 05.00 saat kendaraan mulai melaju dari Ngraho, membawa kami menuju Bojonegoro. Perjalanan ini terasa begitu bermakna, setiap kilometer yang kami tempuh membawa kami semakin dekat pada sebuah tujuan besar, bukan hanya ziarah pada makam para pendiri, tetapi juga menyatukan langkah dengan para ulama dan pemimpin dalam Muskerwil.


Dalam perjalanan ini, kami bukan hanya menyusuri jalanan beraspal, tetapi juga menyelami makna keikhlasan, ketulusan, dan tanggung jawab. Setiap detik terasa begitu berharga, karena kami tahu bahwa perjalanan ini adalah bagian dari pengabdian kami, bukan hanya kepada organisasi, tetapi juga kepada nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri Nahdlatul Ulama.


Di balik keheningan pagi dan panjangnya perjalanan, ada keyakinan bahwa kami tengah menapaki jejak yang sama dengan para pendahulu kami, yang dengan penuh cinta dan pengorbanan membangun fondasi kuat bagi Nahdlatul Ulama. Inilah perjalanan spiritual, sebuah perjalanan yang akan selalu terpatri dalam sanubari, sebagai saksi bisu dari sebuah komitmen untuk terus menjaga dan meneruskan warisan suci ini.


Setelah beberapa saat, instruksi dari panitia terdengar. Kami diarahkan untuk masuk ke dalam bus masing-masing. Kami Pengurus MWCNU masuk ke dalam bus MWCNU, sementara yang berada di jajaran PCNU diarahkan ke bus PCNU. Setiap langkah yang kami ambil saat menaiki bus itu terasa seperti sebuah doa, sebuah tekad untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan yang mulia.


Bus perlahan mulai bergerak, meninggalkan Bojonegoro menuju Jombang melalui jalur Babat-Jombang. Jalanan yang kami lalui seperti menghamparkan seutas tali yang menghubungkan kami dengan para pendiri Nahdlatul Ulama, yang akan kami ziarahi. Dalam keheningan bus yang hanya sesekali dipecah oleh percakapan ringan, setiap kami merenungi perjalanan ini. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin, sebuah ziarah untuk menguatkan kembali tali silaturahmi dengan para pendiri, menghidupkan kembali nilai-nilai perjuangan mereka dalam hati kami.


Ziyarah pertama kami adalah ke makam Mbah KH Wahab Hasbullah, seorang tokoh besar yang pemikirannya menjadi fondasi kuat bagi NU dan Indonesia. Setelah berdoa di sana, kami melanjutkan perjalanan ke makam Mbah KH Bisri Syansuri, seorang ulama yang dikenal karena kealiman dan kebijaksanaannya dalam memimpin umat. Akhirnya, kami tiba di kompleks makam Tebu Ireng, tempat peristirahatan terakhir keluarga besar Mbah KH Hasyim Asy'ari, pendiri utama Nahdlatul Ulama. 


Di setiap maqom yang kami kunjungi, doa-doa dipanjatkan dengan khusyuk, memohon berkah dan petunjuk agar kami dapat melanjutkan perjuangan ini dengan penuh istiqamah. Setiap hembusan angin di kompleks makam terasa seolah membawa pesan dari masa lalu, mengingatkan kami akan betapa besar tanggung jawab yang kini ada di pundak kami. 


Langit di atas kompleks Tebu Ireng tampak begitu damai, seolah menyatu dengan suasana hening yang mengelilingi makam para pendiri Nahdlatul Ulama. Setelah melalui perjalanan panjang dari Bojonegoro, kami tiba di tempat yang penuh berkah ini dengan hati yang bergetar. Setiap langkah yang kami ayunkan di jalan setapak menuju makam, terasa begitu berat namun penuh makna. Seolah-olah, tanah yang kami injak membawa kenangan tentang perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian yang tak ternilai harganya.


Ketika kami sampai di makam Mbah KH Hasyim Asy'ari, pendiri besar Nahdlatul Ulama, suasana terasa sangat khidmat. Di hadapan makamnya, kami menundukkan kepala, berdoa dengan penuh rasa hormat. Dalam keheningan itu, terbayang bagaimana sosok beliau dengan kebijaksanaan dan keberaniannya, memimpin umat dalam menghadapi tantangan zaman. Beliau adalah pilar utama yang dengan tangan dinginnya membangun fondasi kuat bagi organisasi yang kini kami jaga dan teruskan perjuangannya.


Doa-doa kami mengalir tulus, memohon agar kami diberi kekuatan untuk tetap teguh dalam jalan yang telah dirintis oleh para pendiri ini. Setiap dari kami merasakan betapa besar tanggung jawab yang kini harus kami pikul, tanggung jawab untuk menjaga ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil 'alamin, sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Mbah Hasyim dan para pendiri lainnya.


Di kompleks makam ini, kami bukan hanya sekadar berziarah. Kami merasakan kehadiran beliau, seakan-akan beliau membisikkan pesan kepada kami, mengingatkan kami akan tanggung jawab yang harus kami emban. Setiap hembusan angin yang menyentuh wajah kami seolah membawa pesan tentang pentingnya menjaga persatuan umat, tentang tanggung jawab besar yang harus kami jaga sebagai penerus perjuangan beliau.


Setelah ziyarah yang penuh makna di makam para pendiri Nahdlatul Ulama, langkah kami berlanjut menuju pelataran AULA KONFERWIL, tempat di mana KORFERWIL PWNU Jatim berlangsung. Suasana di sana terasa begitu hidup dan penuh antusiasme. Para peserta dari berbagai daerah di Jawa Timur telah berkumpul, membawa semangat dan harapan untuk masa depan organisasi yang besar ini.


Saat kami tiba, acara sudah mencapai sesi yang paling dinantikan: Sidang Pleno Pemilihan TIM AHWA. Di sinilah akan ditentukan siapa yang akan memegang amanah besar sebagai Ro'is Syuriyah PWNU Jatim, sebuah posisi yang begitu penting dalam mengarahkan langkah-langkah organisasi ke depan. Kami duduk bersama rombongan, mengikuti setiap tahapan dengan penuh perhatian. Setiap suara yang terdengar di ruang sidang membawa gema tanggung jawab yang besar, karena keputusan yang diambil di sini akan mempengaruhi arah perjuangan dakwah Nahdlatul Ulama di Jawa Timur.


Mata dan telinga kami tertuju pada setiap detail, mengikuti dinamika pemilihan yang berlangsung dengan seksama. Proses ini bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah ritual penting yang mencerminkan demokrasi dan musyawarah, dua prinsip yang menjadi ruh dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Setiap peserta, termasuk kami, menyadari betapa pentingnya memilih pemimpin yang tidak hanya cerdas dan bijaksana, tetapi juga memiliki hati yang tulus dan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah wal Jama'ah.


Di tengah-tengah keseriusan sidang pleno, suasana sesekali mencair dengan gurauan ringan. Pertemuan dengan saudara-saudara dari berbagai daerah di Jawa Timur menghadirkan keceriaan tersendiri. Canda tawa yang mengalir di sela-sela diskusi formal mengingatkan kami bahwa di balik semua perbedaan, ada ikatan persaudaraan yang erat. Setiap senyum dan tawa yang terukir membawa kebahagiaan, memperkuat hubungan batin di antara kami, sesama pejuang dakwah.

Ada momen-momen ketika kami saling berbagi cerita tentang perjalanan dakwah di daerah masing-masing, tentang suka dan duka yang telah dilalui. Di sini, di tengah-tengah Konferwil yang serius, kami menemukan ruang untuk merajut kembali tali silaturahmi, memperkuat ikatan ukhuwah yang menjadi fondasi kuat dalam organisasi ini. Dalam canda, tersimpan kehangatan dan keakraban, yang menjadikan momen ini lebih dari sekadar acara formal, tetapi juga perayaan kebersamaan.


Ketika akhirnya proses pemilihan mencapai klimaks, kami merasakan tegang yang menyelemuti ruangan. Namun, dalam hati kami, ada keyakinan bahwa siapapun yang terpilih sebagai Ro'is Syuriyah dan Ketua Tanfdziyah PWNU Jatim, mereka adalah yang terbaik untuk memimpin umat dalam langkah-langkah besar ke depan. Kami menyadari bahwa pemimpin yang terpilih akan membawa amanah yang sangat besar, tidak hanya untuk Jawa Timur, tetapi juga untuk seluruh warga Nahdlatul Ulama.


Penetapan Rais Syuriah: Sejarah yang Terukir di Konferwil ke-18 PWNU Jatim

Di tengah suasana yang penuh hikmat di Universitas KH Hasyim Asyari, Tebuireng, Jombang, sejarah baru tertulis dalam perjalanan panjang Nahdlatul Ulama. Pada Sidang Pleno IV Konferensi Wilayah (Konferwil) ke-18 PWNU Jawa Timur, keputusan penting telah disahkan. Penetapan Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur akhirnya mencapai puncaknya, dengan terpilihnya KH Anwar Manshur sebagai Rais Syuriah PWNU Jatim untuk masa khidmat 2024-2029.

Proses penetapan ini berlangsung dengan penuh kebijaksanaan dan musyawarah. KH Amin Said Husni, Wakil Ketua Umum PBNU, dalam pidatonya pada Sabtu, 3 Agustus 2024, menyampaikan bahwa musyawarah AHWA (Ahlul Halli wal Aqdi) telah dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan amanah. Musyawarah ini diadakan untuk memenuhi mandat yang diberikan oleh konferensi, sesuai dengan pasal 5 ayat 1-10 UU Perkumpulan Nahdlatul Ulama.

Dalam suasana yang khidmat, KH Anwar Iskandar, salah satu anggota AHWA, menjelaskan bagaimana musyawarah ini dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan dan pertimbangan yang matang. Hasil dari musyawarah tersebut memutuskan bahwa KH Anwar Manshur, seorang ulama yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kealiman, adalah sosok yang paling layak untuk memimpin PWNU Jawa Timur sebagai Rais Syuriah dalam periode mendatang.

Keputusan ini kemudian dituangkan dalam sebuah berita acara yang akan menjadi bagian dari keputusan rapat pleno hari itu. Sebelum menutup penyampaian hasil musyawarah, Kiai Anwar menyampaikan harapan dan doa agar keputusan ini diridhai oleh Allah SWT. Nama-nama anggota AHWA yang terlibat dalam musyawarah ini bukanlah nama-nama yang asing dalam dunia keulamaan Nahdlatul Ulama. Mereka adalah KH Miftachul Akhyar, KH Anwar Manshur, KH Anwar Iskandar, KH Mutawakkil Alallah, KH Fuad Nur Hasan, KH Ubaidillah Faqih, dan KH Mudatsir Badaruddin. Masing-masing dari mereka membawa serta kebijaksanaan dan pengalaman yang mendalam dalam menuntun arah perjuangan NU di Jawa Timur.

Usai penetapan Rais Syuriah, suasana semakin tegang dan antusias. Sidang pleno selanjutnya, sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh panitia, adalah pemilihan Ketua PWNU Jawa Timur. Ini adalah momen yang sangat penting karena Ketua Tanfdziyah akan memimpin jalannya organisasi dalam berbagai kegiatan strategis selama lima tahun ke depan. 

Setiap peserta konferwil menyadari betapa pentingnya keputusan yang akan diambil. Pemilihan ini bukan hanya sekadar memilih seorang pemimpin, tetapi juga menetapkan arah dan visi yang akan dijalankan oleh PWNU Jawa Timur ke depan. Dengan penetapan Ketua PWNU, perjalanan panjang hari itu mencapai puncaknya, menyatukan harapan dan doa dari seluruh peserta konferensi.

Di tengah suasana yang penuh khidmat dan harapan, kami semua menantikan hasil dari sidang pleno ini. Dengan hati yang penuh harap, kami memohon agar siapapun yang terpilih sebagai Ketua PWNU Jawa Timur akan mampu membawa organisasi ini menuju masa depan yang lebih baik, memperkuat dakwah, dan menjaga keutuhan umat di tengah berbagai tantangan zaman. 

Hari itu, di Tebuireng, bukan hanya sebuah keputusan yang diambil, tetapi juga sebuah janji yang diperbarui untuk terus menjaga dan meneruskan perjuangan para pendiri Nahdlatul Ulama, demi kemaslahatan umat dan tegaknya Islam yang rahmatan lil 'alamin di Jawa Timur dan seluruh Indonesia.

Gus Kikin: Pemimpin Baru di Tengah Sejarah dan Tradisi Tebuireng

Malam itu, di bawah naungan langit Tebuireng yang penuh berkah, sebuah keputusan penting ditetapkan dalam Sidang Pleno V Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama (Konferwil NU) Jawa Timur. KH Abdul Hakim Mahfudz, yang lebih dikenal sebagai Gus Kikin, resmi terpilih sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur untuk masa khidmat 2024-2029. Keputusan ini menjadi puncak dari rangkaian panjang proses musyawarah dan pemilihan yang penuh dengan kebijaksanaan dan pertimbangan matang.

Terpilihnya Gus Kikin sebagai Ketua PWNU Jatim bukanlah sekadar momen biasa, melainkan sebuah peristiwa bersejarah yang bertepatan dengan Hari Lahir (Harlah) ke-125 Pesantren Tebuireng. Pesantren yang didirikan pada 3 Agustus 1899 oleh KH Hasyim Asy'ari ini telah menjadi pusat keilmuan dan pergerakan Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang rahmatan lil 'alamin. Dengan tema "125 Tahun Pesantren Tebuireng Merawat Islam Ahlussunnah wa Al-Jamaah yang Rahmatan lil ‘Alamin," perayaan ini menjadi latar yang sempurna bagi lahirnya pemimpin baru PWNU Jatim, yang juga merupakan dzurriyah dari pendiri pesantren legendaris ini.

Keputusan terpilihnya Gus Kikin sebagai Ketua PWNU Jatim ditetapkan dalam sidang yang dipimpin oleh H Amin Said Husni, Wakil Ketua Umum PBNU, didampingi oleh Gus Aizuddin Abdurrahman, Ketua PBNU. Ketukan palu yang menandai pengesahan Gus Kikin sebagai Ketua PWNU Jatim diiringi dengan lantunan Al-Fatihah, memperkuat suasana penuh khidmat dan spiritualitas yang melingkupi sidang tersebut.

Dalam penjelasannya, H Amin Said Husni menguraikan bahwa NU memiliki dua mekanisme pemilihan ketua: musyawarah mufakat dan pemungutan suara. Dalam pemilihan Ketua PWNU Jatim kali ini, mekanisme kedua digunakan karena terdapat dua bakal calon yang diusulkan, yaitu Gus Kikin dan KH Makki Nashir, Ketua PCNU Bangkalan sekaligus dzurriyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.

Proses penjaringan suara menunjukkan dominasi dukungan untuk Gus Kikin, yang berhasil mengumpulkan 38 usulan atau 88 persen suara, sementara Kiai Makki hanya memperoleh 5 usulan atau 12 persen suara. Dengan demikian, Gus Kikin dianggap sah sebagai calon Ketua PWNU Jatim, sementara Kiai Makki gagal memenuhi syarat dukungan minimal 30 persen sebagaimana diatur dalam tata tertib Konferwil NU Jatim.

Total hak suara dalam pemilihan ini berjumlah 43, setelah PCNU Banyuwangi tidak memiliki hak suara dan PCNU Kediri tidak hadir. Dengan hasil ini, Gus Kikin dinyatakan terpilih secara aklamasi, tanpa perlu melalui tahap pemungutan suara lanjutan. Keputusan ini menandai sebuah era baru dalam kepemimpinan PWNU Jawa Timur, dengan Gus Kikin diharapkan dapat membawa organisasi ini semakin maju dan kokoh dalam mendampingi umat di tengah berbagai tantangan zaman.

Setelah pengesahan ini, Konferwil NU Jatim yang mengusung tema "Merajut Ukhuwah dan Mengokohkan Jamiyah dalam Pendampingan Umat" dinyatakan selesai. Malam itu, kami semua merasa bahwa proses panjang ini telah membawa NU Jatim ke arah yang lebih baik, dengan kepemimpinan yang diharapkan mampu mengemban amanah besar untuk lima tahun ke depan.

Malam semakin larut, namun semangat dan harapan yang ditinggalkan oleh Konferwil ini terus menyala dalam hati kami. Dengan Gus Kikin di pucuk pimpinan, kami yakin bahwa PWNU Jatim akan terus berperan sebagai garda terdepan dalam menjaga dan meneruskan perjuangan para ulama, memperkuat ukhuwah Islamiyah, dan menjadi pelayan umat yang selalu mengedepankan kepentingan bersama di atas segalanya.

Perjalanan Pulang: Meneruskan Amanah dari Jombang ke Bojonegoro

Usai rangkaian acara yang penuh dengan makna dan sejarah, kami, bersama rombongan, bersiap untuk kembali ke Bojonegoro. Matahari sudah tenggelam, menyisakan jejak keemasan di langit Jombang yang semakin gelap. Dengan hati yang tenang dan penuh rasa syukur, kami menaiki bus, membawa pulang segala pelajaran, pengalaman, dan amanah yang telah diemban sepanjang hari itu.

Perjalanan pulang kali ini tidak hanya sekadar kembali ke rumah, tetapi juga membawa serta semangat dan tanggung jawab baru. Di dalam bus, meski tubuh terasa lelah, ada percakapan hangat yang terus mengalir di antara kami. Para kiyai, tokoh, dan pengurus MWCNU serta PCNU dari berbagai kecamatan di Bojonegoro berbagi refleksi dan renungan tentang apa yang baru saja terjadi di Konferwil.

Kami membahas berbagai hal, mulai dari makna penetapan Gus Kikin sebagai Ketua PWNU Jatim, hingga tantangan yang akan dihadapi oleh organisasi di masa depan. Ada rasa optimisme yang mengalir di setiap kata, seolah-olah perjalanan pulang ini adalah bagian dari sebuah misi yang lebih besar. Kami semua menyadari bahwa amanah yang kami bawa dari Jombang bukanlah hal yang ringan, tetapi dengan kebersamaan dan kesatuan, kami yakin dapat mengembannya dengan baik.

Di tengah perbincangan, sesekali terdengar gurauan dan tawa ringan yang menghangatkan suasana. Meskipun hari itu dipenuhi dengan keseriusan dan pengambilan keputusan penting, tetap ada ruang bagi keakraban dan persaudaraan yang selalu menjadi ciri khas kami. Tawa-tawa itu seolah menjadi pengikat, memperkuat tekad kami untuk terus bekerja bersama, memajukan dakwah dan menjaga keutuhan Nahdlatul Ulama di Bojonegoro dan sekitarnya.

Seiring dengan roda bus yang terus berputar membawa kami kembali ke Bojonegoro, kami merenungi perjalanan panjang hari itu. Dari ziyarah maqam para pendiri NU, mengikuti sidang pleno Konferwil, hingga menyaksikan terpilihnya pemimpin baru, semuanya memberikan kami perspektif baru tentang tanggung jawab dan pengabdian. Kami sadar bahwa perjalanan ini adalah bagian dari sebuah perjalanan spiritual yang lebih besar, mengikat kami semua dalam satu tujuan: merawat dan meneruskan perjuangan para ulama pendiri Nahdlatul Ulama.

Setiap kilometer yang kami lewati di jalanan menuju Bojonegoro, seakan membawa kami lebih dekat ke rumah dengan hati yang penuh tekad baru. Malam semakin larut, dan keheningan mulai menguasai bus, tetapi dalam hati kami, ada semangat yang tak pernah padam. Kami tahu bahwa tugas kami belum selesai; justru ini adalah awal dari perjalanan baru, di mana kami harus membawa dan menerapkan segala hikmah yang kami peroleh hari ini di tengah masyarakat yang kami layani.

Ketika akhirnya bus memasuki wilayah Bojonegoro, ada rasa lega dan syukur yang tak terhingga. Kami telah menjalani sebuah perjalanan penting, sebuah perjalanan yang bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual. Kini, saatnya kami kembali ke rumah masing-masing, membawa serta amanah dan tanggung jawab baru yang harus dijaga dan dijalankan dengan penuh kesungguhan.

Dalam keheningan malam yang menyelimuti Bojonegoro, kami berpisah satu per satu, dengan hati yang siap untuk melanjutkan perjuangan ini. Malam itu, di bawah langit yang cerah, kami membawa pulang bukan hanya kenangan, tetapi juga sebuah komitmen untuk terus berjuang demi agama, bangsa, dan Nahdlatul Ulama.

Kenangan dan Refleksi di Ujung Perjalanan

Saat roda bus berhenti di depan Kantor PCNU Bojonegoro, rasa kelegaan bercampur dengan keharuan menyelimuti hati kami. Malam semakin larut, tetapi semangat kami masih membara. Satu per satu dari kami turun dari bus, membawa tas kecil yang mungkin tak sebanding dengan beban tanggung jawab yang kini ada di pundak masing-masing.

Di antara sisa-sisa percakapan, terselip rasa syukur yang mendalam atas kelancaran perjalanan hari itu. Kami saling berpamitan dengan penuh hormat, sambil menukar senyuman yang seolah mengisyaratkan bahwa ini bukanlah akhir, melainkan sebuah awal dari tugas besar yang menanti di hari-hari mendatang.

Kami semua sadar bahwa apa yang telah kami lalui bukanlah sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan spiritual yang memperkaya batin dan meneguhkan niat. Setiap langkah yang kami ambil di Jombang, setiap doa yang kami panjatkan di makam para muassis NU, dan setiap keputusan yang diambil dalam Konferwil, semuanya adalah bagian dari sebuah perjalanan besar dalam menjaga dan melanjutkan perjuangan para ulama.

Ketika saya melangkah meninggalkan kantor, dinginnya angin malam Bojonegoro menyambut dengan lembut. Meski lelah, ada ketenangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saya merasa bahwa perjalanan ini telah memberikan saya lebih dari sekadar pengalaman, tetapi juga sebuah keyakinan yang lebih dalam akan pentingnya menjaga dan meneruskan warisan perjuangan Nahdlatul Ulama.

Langit Bojonegoro yang gelap kini tampak lebih cerah di mata saya. Dalam kesendirian malam itu, saya merenungkan apa yang telah kami capai dan apa yang masih harus dilakukan. Gus Kikin telah terpilih sebagai Ketua PWNU Jatim, dan ini berarti sebuah babak baru dalam sejarah NU Jawa Timur telah dimulai. Tugas kami kini adalah mendukung kepemimpinan beliau dan terus berjuang bersama-sama untuk mewujudkan visi besar yang telah digariskan oleh para pendiri NU.

Di perjalanan pulang menuju rumah, saya tak henti-hentinya memikirkan tanggung jawab yang harus saya emban sebagai bagian dari organisasi ini. Saya ingat kembali percakapan dengan para kiyai, gurauan hangat di dalam bus, serta keseriusan dalam setiap sidang yang kami ikuti. Semua itu mengajarkan saya bahwa kebersamaan dan persatuan adalah kunci utama dalam mengatasi berbagai tantangan yang ada.

Ketika akhirnya saya tiba di rumah, keheningan kampung terasa menenangkan. Saya tahu bahwa tugas saya belum selesai; justru ini adalah saatnya untuk mulai menerapkan semua pelajaran yang saya dapatkan. Dengan penuh keyakinan, saya berdoa agar Allah SWT memberi kekuatan dan kebijaksanaan kepada kami semua untuk menjalankan amanah ini dengan baik.

Malam itu, dalam keheningan yang menyelimuti kampung, saya menutup hari dengan doa dan harapan yang tulus. Perjalanan kami mungkin telah selesai, tetapi perjuangan yang sebenarnya baru saja dimulai. Sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, saya bertekad untuk terus melangkah di jalan yang telah dirintis oleh para pendiri, dengan semangat yang tak pernah padam dan hati yang selalu terpaut kepada Allah SWT.

Perjalanan hari itu adalah sebuah kenangan yang akan selalu terpatri dalam ingatan, sebuah perjalanan yang mengingatkan saya bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil dalam melayani umat adalah bagian dari langkah besar dalam menjaga dan melanjutkan perjuangan para ulama. Dengan hati yang penuh syukur, saya siap untuk melangkah ke depan, membawa semangat dan harapan baru untuk masa depan yang lebih baik.

*Catatan Sebuah perjalanan Khidmah Seorang Santri Ndeso